REVITALISASI GENERASI MELALUI REVOLUSI LITERASI

Oleh Iin Solihin

Saat ini, negara Indonesia sedang mengalami dua kondisi darurat. Pertama, darurat pandemi Covid-19 yang sedang meluluhlantakkan sendi kehidupan. Kedua, darurat Literasi. Darurat  kedua inilah yang akan dibincangkan pada tulisan ini. Taufik Ismail, salah satu sastrawan terbaik Indonesia, pernah melakukan riset yang beliau sebut sebagai tragedi “Nol Buku”. Riset yang dilakukan yaitu mengadakan penelitian ke Sekolah Menenagah Atas di 13 negara antara jenjang waktu Juli sampai Oktober 1997 mengenai ; pertama, kewajiban membaca buku. Kedua, tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah. Ketiga bimbingan menulis. Keempat, pengajaran sastra di sekolah. Hasil riset tersebut menempatkan Amerika Serikat di posisi pertama dengan kewajiban membaca buku 32 judul, di posisi kedua dan ketiga di isi Belanda dan Prancis dengan kewajiban membaca 30 judul. Memprihatinkan, Indonesia berada di akhir dengan kewajiban membaca nol judul, lebih baik dari Malaysia  dengan kewajiban membaca buku 6 judul dan Thailand 5 judul walau ketiga negara tersebut dikategorikan negara berkembang. Konklusi dari Taufik Ismail adalah “ siswa kita tidak membaca dan tidak menulis, siswa kita rabun membaca dan pincang menulis”. Pada tanggal 27 November 2012, BBC Indonesia menerbitkan berita dengan judul “Peringkat Sitem Pendidikan Indonesia Terendah di Dunia” judul tersebut berdasarkan table liga global yang di terbitkan oleh Firma Pendidikan Pearson. Dalam tabel tersebut, Indonesia berada di di posisi paling bawah, sedangkan Finlandia dan Korea Selatan menduduki tempat pertama dan kedua. Data tersebut memadukan hasil tes Internasional salah satunya tingkat kelulusan pada tahun 2006 sampai 2010. UNESCO, organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2012 menunjukan data  indeks tingkat membaca orang Indonesia berada di angka 0,001, dengan kata lain, dari 1000 penduduk, hanya ada 1 orang yang membaca dengan serius. Jika di rasiokan, dari 250 juta penduduk, hanya 250.000 penduduk Indonesia yang memiliki minat baca. Riset World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity tahun 2016, menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara terkiat minat membaca, Thailand mendampingi  di bawah Indonesia berada di posisi 59 dan di atas Bostwana. Setali tiga uang, Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) 2018. Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Dari tahun ketahun, hasil riset Lembaga dunia memiliki simpulan yang sama ; masyarakat Indonesia lemah literasi, hal ini tejadi karena tidak membuminya program-proram literasi. Beragam jurus telah dipetakan oleh pemerintah untuk mengatasi keadan ini. GLN atau Gerakan literasi Nasional merupakan salah satu hegemoni pemerintah terhadap literasi, dengan tiga komponen utama, yaitu literasi sekolah, literasi keluarga dan literasi masyarakat. sepertinya, program tersebut adalah jawaban dari solusi pemerintah atas rendahnya tingkat literasi Indonesia di berbagai macam hasil riset dunia. 2016 adalah tahun digiatkannya Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Tujuan utama adalah adanya eskalasi masyarakat terhadap membaca dan menulis. Premis program ini sepertinya sama seperti peta jalan dari pemerintah generasi sebelumnya, hanya morfemnya saja yang berbeda. Relevansi program literasi dapat di lihat dari sejarah Gerakan literasi Indonesia. Pada tahun 1677 P. Wangsakerta Kerajaan Cirebon melakukan kegiatan penulisan sejarah se-Nusantara dalam kurun waktu 21 tahun yang dinamakan Gotrasawala, kemudian pada tahun 1948 Preisden Soekarno mencanangkan program PPHB (Program Pemberantasan Buta Huruf). Tahun 1995, program GGM atau proram Gerakan gemar membaca di canangkan oleh Presiden Soeharto. Sejarah tersebut merupakan refleksi dari program literasi pemerintah era Jokowi, namun kenyataanya, Indonesia masih berkutat dengan rendahnya keadaan Indonesia terkait Literasi dibandingkan negara-nagara yang lain.

 Jawaban dari semua ini hanya satu, Revolusi Literasi. program-program yang digulirkan pemerintah tidak berhenti pada kegiatan seremonial, apalagi di silangkan dengan dengan aspek politis. Revitaliasi literasi adalah berjalannya program dari semua komponen pada rel yang sama tanpa ditumpangi kepentingan lain. kehadiran jargon “Bunda Literasi”, kemudin pemilihan duta literasi atau kegiatan-kegiatan seremonial yang instan dan tidak bekelanjutan rasanya banyak muatan politis, alih-alih terbangun habituasi literat masyarakat. Program GLS pun hanya dijadikan alat pijak pengeluaran dana sekolah, ketimbang membumikan budaya literasi siswa. Soal lain, pemerintah terlalu fokus dengan GLS, sedangkan dua komponen lain yaitu gerakan literasi keluarga dan Gerakan literasi masyarakat belum tersentuh sama sekali. Dalam Indeks Aktivitas Literasi Membaca, ada 4 dimensi pokok ; pertama dimensi kecakapan (bebas buta aksara). Kedua dimensi akses (fasilitas seperti perpustakaan umum, daerah, sekolah). Ketiga dimensi alternatif (membaca secara daring atau luring). Keempat, dimensi budaya (kebiasan membaca). Dimensi tersebut berdekatan langsung dengan Gerakan literasi keluarga dan Gerakan literasi masyarakat. Apresiasi boleh kita berikan kepada pemerintah dengan segala upaya yang dilakukan sampai digulirkannya program GLN, namun keadaan yang terjadi, GLN lebih terpusat pada kegiatan literasi sekolah. Namun membangun literasi di masyarakat terlupakan. Minimnya perpustkaan Desa, tidak terlaksanakanya program literasi keluarga dan masyarakat, Sulit ditemukannya perpustakaan yang representatif, buku yang tidak lanyak baca , tidak di analisisnya buku bacaan berdasarkan minat baca masyarakat, seperti contoh, perpustakaan daerah yang tidak terdapat buku sejarah,ekonomi atau folklore sama sekali tentang daerah tesebut juga fenomena yang terkait wilayah tersebut. Jika selama ini pojok literasi dijadikan pijakan salah satu program GLN di sekolah-sekolah, solusi yang mendasar yaitu membuat tim literasi sampai ke tingkat Rt atau Rw dilaksanakan secara berkelanjutan. Mana mungkin siswa atau anak menguasai keketrampilan membaca jika orang tua (keluarga) masyakaakat dan sekolah tidak melatih mereka. Dengan tiga komponen tersebut berjalan ; GLN, GLK dan GLM , literasi benar-benar sudah membumi di negeri pertiwi ini. Komitmen inilah yang harus kita bangun Bersama-sama. Dengan begitu, masalah negeri terkait literasi lambat laun akan terurai

Jika semangat revolusi negeri pernah digelorakan Bung Karno pada masa kemerdekaan, maka tidak salah jika kini harus digelorakan revolusi literasi. Sudah saatnya membangun negeri dengan membumikan literasi ke setiap generasi. Bonus demografi yang digadang-gadang menjadi modal penting menuju Indonesia Emas, akan terlaksana jika generasinya melek literasi. Bukan generasi media sosial dan permainan online bahkan judi online, tetapi generasi literat. Berbicara generasi, Indonesia akan diuntungan dengan Bonus Demografi. Bonus demografi Iini akan terjadi pada tahun 2045 yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif yaitu di umur 15 sampai 64 tahun, sedangkan sisanya, 30% merupakan penduduk yang tidak produktif, usia di bawah 14 tahun dan diatas 65 tahun pada periode tahun 2020-2045. Bonus demografi Ini tidak boleh di sia-siakan dan harus menjadi bagian dari kemajuan negara Indonesia, karena sulit mencari negara dengan bonus demografi seperti ini. Jika tidak di bangun dan di rencanakan dari sekarang, bonus demografi tersebut akan menjadi sia-sia. Sumber daya negeri yang melimpah, akan sia-sia jika generasi rendah literasi. Sebaliknya, jika generasinya literat, secuil sumber daya pun bisa dikelola dengan baik. Di sini peran kecakapan berpikir kritis dan kreatif wajib ambil bagian, dan kita merupakan bagian dari peran tersebut. Jika meminjak kata dari Lenang Manggala, “Penguatan budaya literasi adalah kunci memajukan negeri ini.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *